Pernahkah kau merasakan sesuatu yang biasa hadir mengisi hari-harimu,  tiba-tiba lenyap begitu saja. Hari-harimu pasti berubah jadi pucat pasi  tanpa gairah. Saat kau hendak mengembalikan sesuatu yang hilang itu  dengan sekuat daya, namun tak kunjung tergapai. Kau pasti jadi kecewa  seraya menengadahkan tangan penuh harap lewat kalimat doa yang tak  putus-putusnya.
             Bukankah kau jadi kehilangan kehangatan karena tak ada helai-helai  sinar ultraviolet yang membuat senyumnya begitu ranum selama ini.  Matahari bagimu tentu tak sekadar benda langit yang memburaikan kemilau  cahaya tetapi sudah menjadi sebuah peristiwa yang menyatu dengan ragamu.  Bayangkanlah bila matahari tak terbit lagi. Tidak hanya kau tapi jutaan  orang kebingungan dan menebar tanya sambil merangkak hati-hati mencari  liang langit, tempat matahari menyembul secara perkasa dan penuh cahaya.
            Kaulah matahari itu, bidadariku. Berhari-hari kau merekat kasih  hingga tak terkoyak oleh waktu, tiba-tiba kita harus berpencar di bawah  langit menuju sudut-sudut yang kosong. Kekosongan itu kita bawa melewati  jejalan kesedihan. Kita harus terpisah jauh menjalani kodrat diri yang  termaktub di singgasana luhl mahfudz. Semula kita begitu dekat. Lantas terpisah jauh oleh lempengan waktu.
            Kita mengisi halaman-halaman kosong kehidupan kita dengan denyut  nadi. Sesudahnya, kita bertemu bagai angin mengecup pucuk-pucuk daun dan  berlalu begitu mudah. Dan kita pun bertemu lagi dengan perasaan yang  asing hingga kita begitu sulit memahami siapa diri kita sebenarnya.
           Di ruang kosong yang semula dipenuhi pernik cahaya matahari, kita  bertatap muka penuh gairah. Di penjuru ruang kosong itu bergantungan  bola-bola rindu penuh warna dan aroma. Bola-bola itu bergesekan satu  dengan lain mengalirkan irama-irama lembut Beethoven atau Papavarotti.  Irama itu menyayat-nyayat hati kita hingga mengukir potongan sejarah  baru. Bagaikan sepasang angsa putih yang menari-nari di bawah gemerlapan  cahaya langit, sejarah itu terus ditulisi berkepanjangan. Lewat ratusan  kitab, laksa aksara. Namun, setiap perjalanan pasti ada ujungnya.  Setiap pelayaran ada pelabuhan singgahnya. Setiap cuaca benderang  niscaya ditingkahi temaram bahkan kegelapan.
          Andai sejarah boleh terus diperpanjang membawa mitos dan legendanya,  maka dirimu boleh jadi termaktub pada pohon ranji sejarah itu. Boleh  jadi, kau akan tampil sebagai permaisuri atau pun Tuanku Putri yang  molek. Mungkin, berada di bawah bayang-bayang Engku Putri Hamidah, Puan  Bulang Cahaya atau pun siapa saja yang pernah mengusung regalia kerajaan  yang membesarkan marwah perempuan.
         Aku tiba-tiba jadi kehilangan sesuatu yang begitu akrab di antara  kutub-kutub kosong itu. Kusebut saja, kutub rindu. Aku tak mungkin  menuangkan tumpukan warna di kanvas yang penuh garis dan kata ibarat  sebab lukisan agung ini tak kunjung selesai. Masih diperlukan banyak  sentuhan kuas dan cairan cat warna-warni hingga lukisan ini mendekati  sempurna. Kita telah menggoreskan kain kanvas kosong itu sejak mula  hingga waktu jeda yang tanpa batas.
        Masih ingatkah kau bagaimana langit-langit kamar itu penuh getar dan  kabar. Tiap pintu dan tingkap dipenuhi ikrar kita. Dan bola lampu  temaram memburaikan janji-janji. Sebuah percintaan agung sedang  dipentaskan di bawah arahan sutradara semesta. Kau membilang percik air  yang berjatuhan di danau kecil di sudut pekarangan jiwa dalam kecup dan  harum mawar.
        Bahkan, tubuh kita terguyuri embun yang terbang menembus kisi-kisi  tingkap hingga tubuh kita jadi dingin. Malam-malam penuh mimpi dan  keceriaan bagaikan sepasang angsa yang mengibas-ngibaskan bulu-bulu  beningnya. Kau redupkan cahaya lampu di tiap penjuru hingga sejarah  dapat dituliskan secara khidmat dan penuh makna. Kau menatap  langit-langit kamar sambil membisikkan untaian puisi yang kau tulis  dengan desah napasmu. Kita merecup semua getar irama percintaan itu  tiada batas.
       Malam itu siapa pun tak butuh matahari. Sebab, ada bulan yang  bersaksi. Kita hanya butuh setitik cahaya guna penentu arah belaka.  Selebihnya sunyi menyebat kita dan tiupan angin yang melompat lewat  kisi-kisi jendela yang agak terdedah. Dengan apakah kulukiskan pertemuan  kita, Kekasih? Chairil sempat bertanya seketika.
       Ah, tak cukup kata memberi makna, katamu. Dan isyarat sepasang angsa  yang saling menggosokkan paruh-paruhnya. Bagaikan peladang kita pun  sudah pula bertanam dan menebar benih. Kelak, katamu, akan ada buah yang  bakal dipetik sebagai kebulatan hati yang begitu mudah terjadi tanpa  paksa dan janji.
       Dan kita pun terus saja bertanam agar daun-daun yang bertumbuh kelak  dapat menangkap fotosintesa matahari. Di tiap helai daun itu bermunculan  nama kita sebagai sebuah keabadian. Andai matahari tak terbit lagi saat  pagi merona, kita masih menyimpan sedikit cahaya di helai-helai daun  yang berguncang dihembus angin sepanjang hari.
       Sungguh, matahari tak terbit pagi ini. Bagai aku kehilangan dirimu  yang berhari-hari menangkap cahaya hingga memekarkan kelopak bunga di  jiwa. Percintaan ini penuh wangi dan warna. Penuh hijau daun dan  kupu-kupu yang menyemai spora di mahkota bunga.
       Begitulah saat kau berada jauh kembali ke garis hidupmu, aku begitu  ternganga sebab cahaya tak ada. Memang, tak pernah matahari tak terbit  memeluk bumi. Tapi, bagi kita, kala berada jauh, keadaan begitu gelap  dan sunyi tiba-tiba. Kita merasa begitu kehilangan. Kita merasa ada yang  terenggut tanpa sengaja. Serasa ada yang tercerabut dari akar yang  semula menghunjam jauh di tanah.
       Kita bagaikan orang tak punya pilihan saat berada di persimpangan tak  bertanda. Syukurlah, kita tak pernah kehilangan arah tempat bertuju di  perjalanan berikutnya. Hidup ini penuh gurindam dan bidal Melayu yang  memagari ruang dan langkah kita menuju titik terjauh yang harus  dilompati. Kata-kata yang berdesakan di bait puisi dan lirik lagu  menebar wangi hari-hari.
takkan kutemui wanita seperti dirimu
takkan kudapatkan rasa cinta ini
kubayangkan bila engkau datang
kupeluk bahagia kan daku
kuserahkan seluruh hidupku
menjadi penjaga hatiku
takkan kudapatkan rasa cinta ini
kubayangkan bila engkau datang
kupeluk bahagia kan daku
kuserahkan seluruh hidupku
menjadi penjaga hatiku
      Suara Ari Lasso lewat Penjaga Hati itu mengalir pelan-pelan dari  tembok-tembok kegelapan yang mengepungku. Benar kata emak dulu, kita  akan tahu akan makna sesuatu ketika ia telah berlalu. Apalagi berada  jauh yang tak tersentuh.
Matahari tak terbit pagi ini. Begitulah kita merasakan saat diri kita  berada di kutub yang berjauhan. Diperlukan garis waktu untuk  mempertemukan kedua tebing kutub itu. Atau, kita harus kuat merenangi  laut salju yang kental atau menyelam di bawah bongkahan es yang dingin  menyengat tubuh. Begitu diperlukan segala daya untuk menemukan sesuatu
      Apa perasaanmu kini? Kau telan kesendirian itu di kejauhan sambil  berharap matahari akan bercahaya segera menerangi kisi-kisi hati yang  tersaput luka rindu kita. Andai kita bisa menolak gumpal awan dan  menyeruakkan matahari kembali, begitulah takdir yang hendak kita  bentangkan di kitab sejarah sepanjang masa. Tapi, kita akan cepat lelah.  Menyeruakkan awan untuk menyembulkan garang matahari bukanlah hal yang  mudah. Kita butuh sejuta tangan dan cakar untuk menaklukkan segenap awan  dan matahari itu.
     Kau ingat kan, kisah Qays dan Laila atau Romeo dan Juliet yang  memburaikan banyak kenangan bagi jutaan orang. Kau pun ada dalam bagian  kisah yang tak pernah lekang di panas dan lapuk di hujan itu. Selalu ada  manik-manik kasih mengalir di samudera kehidupan yang maha-luas ini.  Meski kadangkala suaramu tersekat melempar tanya kala anugerah kasih ini  terbit di ujung usia. Tak bolehkah kita mereguk kebahagiaan di sisa  waktu yang masih tersedia meski semua jalan yang terbuka di depan bagai  tak berujung jua. “Aku takut bila aku berubah. Tapi tak akan pernah,  pangeranku,” ucapmu pelan.
    Garis panjang waktu itu mendedahkan kemungkinan-kemungkinan yang  sulit diraba. Banyak ancaman yang siap mengepung kita hingga merobek  tabir setia. Ya, kesetiaan tak kasat-mata. Hanya ada di bilik hati.  Ingin aku menjenguk bilik hatimu setiap saat, tapi tak bisa. Pintu hati  itu tak setiap waktu bisa terbuka.
Andai kau bangun esok pagi, nankan selalu matahari akan terbit  seperti janji yang diucapkannya pada semesta. Di helai cahaya matahari  itu selalu ada kehangatan yang meresap di keping-keping jiwamu.
                                                                                                                Karya Fakhrunnas M.A Jabbar
No comments:
Post a Comment